makalah


MAKALAH
USHUL FIQH
Disusun oleh :
1.      Muhammad Thohir                          1170352
2.      Nur Afrizal                                        1170442
3.      Muhammad Shidiq Nurcahyo         1170342

Dosen Pengampu :
Ahmad Zumaro, MA

Pendidikan Bahasa Arab
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN JURAI SIWO METRO
2011 / 2012
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
         Alhamdulillah, penulisan makalah “Ushul Fiqh” ini dapat diselesaikan berkat hidayah dan inayah Allah SWT.
            Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang pentng dalam menjalani syari’at Islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah. Melalui ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
            Disamping itu, kaidah – kaidah ushul fiqh bukanlah suatu yang mudah untuk dipahami, karena untuk menetapkan dan menerapkan suatu kaidah, para pakar ushul fiqh mengemukakan berbagai analisis mendalam sehingga untuk menukilkannya kedalam bahasa Indonesia, merupakan kesulitan lain yang penulis hadapi.
            Penulis menyadari akan pepatah kita yang menyatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, sehingga sebagai manusia biasa, dalam tulisan ini mungkin masuh terdapat kekurangan atau mungkin masih ada kesalahan dan kekeliruan. Pada kesempatan ini penulis dengan tangan terbuka dan senang hati berharap kiranya para pembaca, khususnya para ahli ushul fiqh, dapat mengemukakan kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.
            Terakhir, kepada Alah SWT penulis mohon taufiq dan hidayah-Nya, serta memanjatkan rasa syukur atas telah selesainya penulisan makalah ini, karena dengan petunjuk dan lindungan-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Semoga makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi para mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Arab pada khususnya dan para mahasiswa fakultas tarbiyah pada umunya.
Metro, September 2012

                Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang pentng dalam menjalani syari’at Islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Sunnah. Melalui ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Disamping itu, kaidah – kaidah ushul fiqh bukanlah suatu yang mudah untuk dipahami, karena untuk menetapkan dan menerapkan suatu kaidah, para pakar ushul fiqh mengemukakan berbagai analisis mendalam sehingga untuk menukilkannya kedalam bahasa Indonesia, merupakan kesulitan lain yang penulis hadapi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian Ushul Fiqh ?
2.    Jelaskan Objek kajian / pembahasan Ushul Fiqh ?
3.    Jelaskan tujuan dan ruang lingkup Ushul Fiqh ?
4.    Jelaskan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh ?
5.    Jelaskan perbedaan antara Ushul Fiqh dan Fiqh ?

C. Tujuan
1.    Mengetahui pengertian Ushul Fiqh
2.    Mengetahui objek kajian dan pembahasan Ushul Fiqh
3.    Mengetahui tujuan dan ruang lingkup Ushul Fiqh
4.    Mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh
5.    Mengetahui perbedaan antara Ushul Fiqh dan Fiqh
D. Manfaat Penelitian
1.  Bagi Penulis, Untuk Memahami dan memperluas ilmu pengetahuan serta sebagai bukti penyelesaian dari tugas terstruktur mata kuliah Ushul Fiqh.
2.   Bagi Pembaca, Sebagai Bahan dalam Penambahan Wawasan tentang sejarah perkembangan Ushul Fiqh.
3.   Bagi Masyarakat, Sebagai bahan referensi diskusi dan sebagai wawasan
E. Metodologi Penelitian
Dalam Penulisan Makalah ini, kami menggunakan metodolgi penelitian ,yaitu Kualitatif deskriftif normatif, dimana kami mencari bahan-bahan referensi dari buku-buku yang relevan serta media internet.

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN                                                                                                            
KATA PENGANTAR                                                                                              
PENDAHULUAN                                                                                                     
DAFTAR ISI                                                                                                              
BAB I. PEMBAHASAN                                                                                           
1.      Pengertian Ushul Fiqh                                                                                                
2.      Objek ajian Ushul Fiqh                                                                                   
3.      Kegunaan Ushul Fiqh                                                                                     
4.      Ruang Lingkup Ilmu Ushul Fiqh                                                                    
5.      Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh                                    
6.      Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh                                                               
PENUTUP                                                                                                                  
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Usul fiqh
Ushul fiqh terdiri atas dua kata, yang masing- masing mempunyai pengertian luas, yaitu ushul dan fiqh. Dalam bahasa Arab, ushul merupakan jamak dari ashl yang mengandung arti “fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non-materi.” Secara terminologi, kata ashl mempunyai beberapa pengertian, yaitu[1]:
1.      Dalil (landasan hukum), seperti ungkapan para ulama ushul fiqh, “Ash dari wajibnya shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul.” Maksudnya, yang menjadi dalil kewajiban shalat adalah ayat al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Qa’idah (dasar, fondasi), seperti sabda Rasul saw:
بني الاءسلام علي خمسة
Islam itu didirikan atas lima ushuul (dasar atau fondasi).
3.      Raajih (yang terkuat), seperti ungkapan para ahli ushul fiqh:
الاءصل في الكلام الحقيقة
Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.
Maksudnya, setiap perkataan yang didengar/dibaca, yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu.
Contoh lain dikatakan ulama ushul fiqh,
القران اصل للقياس
Al-Qur’an itu ashl dari qiyas
Maksudnya, al-Qur’an itu lebih kuat dari qiyas. Bisa juga diartikan: al-Qur’an itu menjadi dasar bagi qiyas.[2]
4.      Far’ul (cabang),seperti ungkapan para ahli ushul fiqh:
ا لولد فرع للاءب
Anak adalah cabang dari ayah
5.      Mustashhab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya). Misalnya seseorang yang telah berwudhu’ meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal wudhu’nya. Tetapi ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinannya ini, ia tetap dianggap suci (masih berwudhu).
Dari kelima pengertian ushul secara bahasa tersebut, maka pengertian yang bisa digunakan dalam ilmu ushul fiqh adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqh.
Kata fiqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam surat Thaha, 20:27-28 yang berbunyi:
واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي
Dan lepaskalah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku
Pengertian fiqh secara etimologi ini juga dapat ditemukan dalam surat An- Nisa,4:78, dan Hud, 11:91. Kemudian pengertian  yang sama juga terdapat dalam sabda Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (H.R. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Fiqh secara terminology[3] adalah :
العلم باالاءحكام الشر عية المكتسب من ادلتها التفصيلية
Mengetahiu hukum-hukum syara’yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci.
Menurut ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai berikut[4] :
معرفة دالاءل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
Mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakanya, serta mengetahui keadaan irang yang menggunakanya (mujtahid).
Definisi ini menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti kehujahan ijma’ dan qiyas. Ushul fiqh juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, seprti kaidah mendahulukan hadist mutawatir dari hadist ahaddan mendahulukan nashdari zhahir.
Jumhur ulama ushul fiqh yang terdiri atas ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah[5] mendefinisikan ushul fiqh dengan:
القواعد التي يوصل البحث فيها الى استنباط الاءحكام من ادلتها التفصيلية
Mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum)yang dapat digunakkan untuk menginstimbathkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalilnya yang rinci.
Definisi yang dikemukakan jumhur ulama ini, menekankan bahwa ushul fiqh adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh. Contohnya:
1.      Al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil yang dapat dijidikan hujjah,
2.      Dalil yang berstatus nash didahulukan dari yang zhahir,
3.      Hadist mutawatir lebih didahulukan dari hadist ahad,
4.      Kaidah umum:
الاءمر للوجوب
Perintah itu mengundang kewajiban.
5.      Kaidah lainnya :
النهي للتحريم
Larangan itu mngandung keharaman.
B. Objek Kajian Ushul Fiqh
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas , Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqh dan ushul fiqh dari Syiria), menytakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqh yang membedakanya dari kajian fiqh, antara lain adalah[6] ;
1.      Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati ( seperti kehujahan al- Qur’an dan Sunnah ), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujhan istihsan dan mashlahahal-mursalah).
2.      Menarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melalui al- jam’u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih ( menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqut al-dalilain ( pengguran kedua dalil yang bertentangan ). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, atau pertentanganhadist dengan pendapat akal.
3.      Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4.      Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syart-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syartab, mani’, sah, batal atau fasad, azimah dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5.      Pembhasan tentang kaidah-kaidah yang digunakn dan cara menggunakanya dalam menginstimbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadist).
C. Kegunaan Ushul Fiqh
Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan ‘aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah dan akhlak.
Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada giliranya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwaushul bkan merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah mempedomani dan mengamalkan Hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
Secara sistematis, para ulama ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain untuk[7]:
1.      Mengetahui kaidah-kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihadyang mereka susun.
2.      Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash. Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan mengamalkanya.
3.      Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan hukumnya dikalangan ulama’ terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
4.      Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi, dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapat pengakuan syara’. Melalui ushul fiqh juga para peminat hukum islammengetahui mana sumber hukum yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5.      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan social yang terus berkembang.
6.      Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum Islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan menggunakan alasanya.


D.    Ruang Lingkup Ilmu Ushul Fiqh
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi :

a.       Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).

b.      Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.

c.       Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.

d.      Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.

e.       Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.

f.       Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.

g.      Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.

h.      Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.

Dengan Usul Fiqh :
-
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
E. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah saw. Sampai pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Dizaman Rasulullah saw., sumber hukum Islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasullah saw. Menunggu turunya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apbila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist atau Sunnah.
Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah saw.yang tidak ada ketentuanya dalam al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpukan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah saw. Menetapkanya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rasulullah saw:
انما انا بشر ادا امرتكم بشيء من جينكم فخدوا به وادا امرتنم بشيء من راي فانما انا بشر   رواه مسلم عن رافع بن خدي                                                                                                                       
Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamusesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Danapabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari penda[atku, maka sesungguhnya aku adalah manusia( biasa). (H.R. Muslim dari Rafi’ ibn Khudai). 
Hasil ijtihad Rasulullah saw, ini secara otomatis menjadi Sunnah sebagai sumber hukumdan dalil bagi umat islam.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah saw, menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan  “Umar ibn al-Khaththab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya, Rasulullah saw, ketika itu bersabda :


ارايت لو تمضمضت وانت صاءم   قلت  الا باءس به قال  فصمه   رواه البخاري ومسلم وابو داود
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal? ‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah saw kemudian bersabda, “Maka teruskan puasamu. “(H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Rasulullah saw, dalam hadist ini. Menurut ulama ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
Cara-cara Rasulullah saw. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulam ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, yaitu sejak zaman Rasululluah saw. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat tersebut diantaranya ‘Umar ibn al-Khaththab,’Ali ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, “Umar ibn al-Khaththab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, disbanding sekedar menerapkan nash secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan Islam di suatu daerah, ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintah Islam. Sikap ini diambil ‘Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian di daerah itu diambil pemerintah Islam, maka rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencharia, yanga akibatnya bisa memberatkan beban Negara. Para ulama’ ushul fiqh berpendapat bahwa landasanpemikiran ‘Umar ibn al-Khaththab dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan (mashlahah)[8].
            ‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-qiyas-kan hukuman orang-orang yang minum khamar dengan hukuman orang-orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina)[9].” Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabukkarna minum khamar akan mengigau . Apabila ia mengigau , maka ucapanya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Selain sebenarnya para sahabat di berbagai daerah yang saling berbeda budaya, ini mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan hukum. Akibatnya dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum dalam kasus tersebut.
Di zaman tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin complex. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, muncul berbagai fatwa berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan Sa’id ibn al-Musayyab. Di Irak muncul ‘Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i. Di Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti al-Bashri.
Titik tolak para ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat dari sudut mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas.Ulama ushul fiqh Iraq lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalamsetiap kasus yang dihadapi mereka berusaha mencari berbagaib’illat-nya; sehingga dengan ‘illat ini mereka menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya. Sikap ulama Irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah saw.yaang bisa mereka temukan. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadist-hadist Rasulullah., karena mereka dengan mudah dapat melacak Sunah Rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh. Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah al-Kuffah, dan Madrasah al-Madinah[10]. Penamaan ini menunjukan perbedaan cara dan metode yang digunakannya dalam menggali hukum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Madinah lebih dikenal dengan sebutan Madrasah al-Ra’yi, sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al- Hadist.
Selain itu muncul para imam mujtahid, khusunya imam mazhab yang empat, yaitu:
1.      Nu’man ibn al-Tsabityang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
2.      Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179H/712-795),
3.      Muhammad ibn Idris al-Syafi’I, yang lebih popular dengan sebutan Imam al-Syafi’I (150-204H/767-820),
4.      Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241H/780-855M)
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat dengan jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainya dalam mengistimbathkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbathkan hukum sebagai berikut:al-Qur’an; Sunnah; fatwa yang didasrkan atas kesepakatan para sahabat; fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyas dan istihsan. Imam malik, ddisamping berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah juga banyak mengistimbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahl al-madinah). Akan tetapi, Imam malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah, apabila terjadi pertentangan Sunnah dimaksud dengaan al-Qur’an.
Selanjutnya muncul Imam al-syafi’I dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh dan dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh yang disusun berdasarkan khasanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid sebelumnya. Imam al-Syafi’I berupaya mempelajari seksama perdebatan yang terjadi antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan Ahl al-Rayi di Irak. Dari kedua aliran ini Imam al-syafi’I berusaha untuk mengkompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta menyusun teori-teori ushul fiqhnya. Dalam kitabnya, Al-risalah, Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih. Setelah melakukan berbagai analisis dari berbagai pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh yang diharapkan dapat jadi patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, dari mulai generasinya sampai generasi selanjutnya.
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudahImam Al-syafi’I menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk menjelaskan secara luas apa yang dikemukakan imam syafi’I dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang melakukan pembahasan yang bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Al-syafi’I, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam Al-syafi’I dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan imam Al-syafi’I. misalnya, ulama ushul fiqh dari kalangan hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh imam syafi’I, tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya,yaitu istihsan dan ‘urf dalam menistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu menambahkan ijma ahl al-madinah (kesepakatan penduduk madinah), karena status ijma ahl al madinah, menurut mereka, merupakan sunnah yang secara turun menurun dilaksanakan sejak zaman rasulullah saw. Sampai ke zaman mereka. Ijma ahl al-madinah tersebut tidakterima Imam Al-Syafi’I sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum islam. Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga menambahkan metode istihsan, mashla bah mursalah (yang keduanya ditolak Imam Al-Syafi’I dan metode sad al-zari’ah[11].
            Para imam mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang dikemukakan imam Al-Syafi’I, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Tetapi, masing – masing mazhab menambahkan metode-metode istinbath, hukum lainnya, seperti yang dikemukakan di atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husen Hamid Hasan[12], dari berbagai metode yang dikemukakan para imam mazhab diatas, ulama ushul fiqh syafi’iyyah (para pengikut imam Al-Syafi’i) ternyata menerima metode urf mushlahah mursalah, karena dipandang tidak dapat dijadikan sebagai salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum islam.
            Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan imam mazhab yang keempat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa ke empat imam mazhab tersebut ushul fiqh menemukan bentuknya yang “sempurna” sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing[13].
F. Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Sebagaimana dalam pembahasan tentang definisi Ushul Fiqh di atas, terdapat perbedaan makna etimologi antara kata ‘usul’ dan kata ‘fiqh’. Perbedaan lebih konkrit dalam makna terminologinya dapat dipaparkan sebagai berikut :
a.       Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yakni menggali hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Oleh itu, setiap mujtahid wajib mengetahui betul-betul ilmu Ushul Fiqh. Ini tak lain kerana tujuan ilmu ini adalah untuk mengimplementasikan kaedah-kaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-orang tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta mengimplementasikannya.Hal ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh.
Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahaid, maka ilmu fiqh harus dipahami oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum) secara keseluruhan. Ini kerana ilmu fiqh merupakan kajian tentang ketentuan hukum bagi setiap perbuatan manusia. Dengan ketentuan hukum inilah beragam perdebatan dan persengketaan di kalangan masyarakat dapat dielakkan.
b.      Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat global (كلي). Ia bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang mempunyai fungsi memudahkan pemahaman terhadap hukum-hukum beserta sumber-sumber dalilnya secara terperinci. Sebagai contohnya adalah beberapa kajian seperti berikut :
1)      Kajian tentang kedudukan dan tingkatan dalil, baik dalil tersebut mempunyai taraf qath'i (hanya mempunyai satu interpretasi) ataupun dhanni (multi-interpretasi).
2)      Kajian tentang indikasi hukum lafadz perintah (الأمر) dan lafadz larangan (النهي) baik dalam al-Qur’an ataupun al-Hadith. Dalam kaitan ini kajian Ushul Fiqh menemukan rumusan bahwa lafadz perintah menunjukkan hukum wajib sedangkan kata larangan menunjukkan hukum haram sejauh tidak ada indikasi (قرينة) yang menyatakan sebaliknya. Oleh itu, kajian ini kemudiannya dapat melahirkan kaedah Ushul Fiqh sebagai berikut :
الأ صل في الأمر يد ل على الوجوب والأصل في النهي يد ل على التحريم                            
Artinya: “Hukum asal daripada perintah adalah wajib sedangkan hukum asal daripada larangan adalah haram”.
3)      Kajian tentang lafadz-lafadz 'am atau lafadz-lafadz khas baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadith. Kajian tentang hal ini kemudian melahirkan kaedah Ushul Fiqh:
العام يتناول جميع أفراده مالم يخصص
Artinya: “Lafadz am itu meliputi semua unit-unit di bawahnya sejauh tidak dikhususkan [ditakhsis] oleh lafadz lain”.
Sedangkan pembahasan dalam fiqh tidaklah demikian. Pembahasan ilmu fiqh adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Apakah perbuatan mukallaf itu dihukumi halal atau haram Apakah perbuatan mukallaf itu sah atau batal? Dalam menentukan aspek hukum perbuatan mukallaf tersebut digunakan dalil-dalil terperinci (تفصيلي) berdasarkan pada kaedah-kaedah Ushul Fiqh yang bersifat umum dan global (إجمالي).
Sebagaimana diketahui, bahwa Ushul Fiqh merupakan kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci atau dapat disebut pula sebagai kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Sementara fikih adalah pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsir (terperinci).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah atau landasan argumentatif yang dipakai untuk melahirkan hukum syara’ (fiqih). Singkatnya, Ushul Fiqh merupakan metodologi / jalan yang dipakai untuk melahirkan hukum fikih, sedangkan fikih merupakan produk hukum yang lahir lewat pengkajian metodologis Ushul Fiqh.

BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
            Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Ushul Fiqh adalah  kaidah-kaidah atau landasan argumentatif yang dipakai untuk melahirkan hukum syara’ (fiqih). Singkatnya, Ushul Fiqh merupakan metodologi/jalan yang dipakai untuk melahirkan hukum fikih, sedangkan fikih merupakan produk hukum yang lahir lewat pengkajian metodologis Ushul Fiqh. Setelah mengetahui definisi ushul fiqh beserta pembahasannya, maka  sangatlah  penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan  ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Romli SA, 1999, Muqarannah Mazhib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama
Hasroeny, Nasrun, 2001, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.


[1] Abu hamid al-ghazali, al-mushtasfa fi, ‘ilm al-ushul bairud : dar al-kutub al-ilmiyyah, jilid 1, 1983, hal.5
[2] Abu hamid Al Ghazali, Al Mustashfa fi ’ilm al ushul, Beirud : dar Al Kutub al-‘Iilmiyyah, jilid I, 1983, hal.5
[3] Al –‘alamah al-bannani, hasyiyah al-bannani’ ala syarh al mahalli ‘ala matn jami’ al jawami’, bairud : dar a-fikr jilid 1, 1402 H/1992, hal.25
[4] Ibid
[5] ‘Abd al-kadir ibn badran al-dimasqi, al-madkhal ila mazhab al-imam ahmad ibn hanbal, bairud : mu’assasa al-risalah, cat II, 1401 H/1981 M, hal 58; lihat juga ibn al-hajib, mukhtasar al-muntaha, mesir : al-madhba ah al-amiriyah , jilid 1 1326 H, hal.18; dan ibn amir al-hajh, al-Taqrir wa al-tahbir, mesir : al-matba’ah al-amirriyah, jilid 1, 1316 H, hal.26 dan 28
[6] Abu hamid al-ghazali, ob.cit,haltuju; sa’if al-din al-amidi, al-ihkam fi ushul al-ahkam, bairud; dar al-kutub al-‘ilmiyyah, jilid 1 1983,hal.9; muhammad ibn ali-ibn muhammad al-syawkani, irsyad al-fuhul, bairud dar al-fikr, t.t, hal.5; dan muhammad al-zuhaili, ushul al-fiqh al-islami, damaskus : al-madzba’a al-jadida, 1395 H/ 1975 M, hal.23
[7] Wahbah al-zuhaili, ushul al-fiqh al-islami, bairud : dar al-fiqr, jilid 1, 1986, hal.30-31
[8] Ibn qayim al-juziyyah, a’lam al-muwaqi’in ‘an robb al-alamin, bairud : dar al-jail, jilid 1, 1973, hal.91
[9] Muhammad ibn’ ali ibn muhammad al-saukani, na’il al-authar, bairud : dar al-fiqr jilid VII, 1978 hal.154. lihat juga muhammad salam madzkur, mabahits al-hukm ‘indah al-usuliyyin, mesir : dar al-nahdah al-‘arabiyyah, 1972, hal.42
[10] Muhammad ma’ruf al-dawwalibi, al-madhal ila’ ilm al-ushul al-fiqh, damaskus universitas damaskus, car : 1378 H / 1959 M hal.93 dst, dan luhat juga muhammad adib al-salih, mashadir al-tasriy al-islami, damaskus : al-madba’ah al-ta’awuniyyah, cat. 1, 1967, hal.30
[11] Faqh al-din muhammad ibn’ umar al-razi, maqib al-syafi’i mesir : al-math ba’ah al-alamiyyah, t.t; hal.1-9 ; al-bai’haqi, manaqib al-syafi’i, kairo: dar al-Turadz, cat.,jilid I, 1970, hal.338;dan muhammad abu zahrah, uhsul al-fiqh, mesir : dar al-fiqr al-arabi, 1958, hal.143
[12] Hasen hamid hasan, nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami, Kairo: dar al-nahdah al-arabiyyah, 1971, hal. 310-414
[13] Muhammad al- zuhaili, op.cit.,hal.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar